Reader yang bijak akan selalu meninggalkan jejaknya. :D Karena itu, silakan post komen atau klik "reaction" di tiap entry yang ada. :D Trims semua.... GOD BLESS YOU!!!

Kamis, 01 September 2011

Lavender 03

Garis Start

Akhirnya aku bisa bertahan selama empat bulan di kampus ini. Entah ini perasaanku atau bukan, sepertinya Salman dan Salma agak jarang mengikutiku. Entah kenapa, ya.... Mungkin saja si Salman berhasil menjauhkan Salma dariku. Tapi, itu tidak apa-apa. Justru karena itu aku bisa mencari banyak cewek baru. Yah... seperti halnya hari ini, aku sendirian dari sejak tadi pagi. Salah satu hari-hariku yang penuh kebebasan. Hari ini aku sudah berkenalan dengan beberapa cewek dari jurusan lain. Hari-hari berikutnya aku akan pergi ke fakultas lain. Pasti!

Oke, saatnya sedikit belajar. Aku juga tidak ingin otakku kosong hanya karena terlalu banyak berburu cewek. Tempat yang bagus untuk belajar siang-siang begini... mungkin di perpustakaan, ya.... Bicara tentang perpustakaan, aku belum pernah ke sana sekalipun. Mungkin... kali ini ada baiknya aku mengunjungi perpustakaan kampusku, ya....

***

Perpustakaan. Sepi. Yah... memang anak muda Indonesia tidak suka membaca buku, sih.... Sebenarnya aku juga. Hahaha.... Tidak heran kalau perpustakaan sering sepi. Yah... mungkin nanti aku yang akan meramaikan perpustakaan ini karena setelah ini aku akan sering datang untuk belajar atau... tidur.

Pertama-tama aku harus memutuskan tempat dudukku. Aku ingin tempat yang paling tenang – supaya kalau lelah, aku bisa langsung tidur tanpa ada yang mengganggu. Mungkin tempat di sekitar pojok adalah tempat yang paling bagus, ya....

Aku melihat ke sekeliling ruangan. Ternyata bagian pojok-pojok ruangan sudah terisi. Apakah mereka semua berpikir hal yang sama dengan yang kupikir? Eh... tapi, ada yang menarik juga. Aku melihat cewek yang familiar di sini. Rambut panjang dan lurus yang bercat coklat tua.... Rachel? Dia sendirian. Kupikir dia selalu bersama cewek aneh yang waktu itu. Jadi, dekati dia, yes or no? Sudah pasti, YES!

Aku menghampiri Rachel yang sedang membaca buku sendirian. “Halo.... Sendirian aja, nih....”

Tidak ada jawaban.

“Ah... ya... waktu itu kita ketemu di belakang Gedung C itu, kan....”

Sunyi....

Apakah anak ini mendengarkanku? Buset, deh.... Dingin sekali, sih....

“Oh, ya... gimana kabar Kak Shinta? Waktu itu kalian sama-sama, kan?”

....

Aku benci suasana seperti ini. Benci sekali.... Paling tidak berkata sesuatu atau... mengangguk walaupun hanya sekali. Benar-benar menyebalkan.... Harus aku apakan dia supaya dia bisa bersuara, ya.... Hm... aku jadi memikirkan sesuatu yang nakal. Biasanya cewek akan bersuara kalau dadanya diremas lelaki. Tapi, jangan... itu sama artinya dengan melakukan pelecehan seksual. Lagipula... tidak ada yang bisa kupegang di bagian dadanya. Atau... aku cium saja bibirnya. Oh, jangan... jangan.... Itu juga pelecehan seksual. Atau... aku cambuki saja dia sampai berdarah-darah. Wah... itu sama tidak beresnya. Aku tidak punya hobi SM! TIDAK!



“Kamu itu... sama sekali nggak pernah mikirin perasaan cewek, sih.... Makanya dicuekin mulu.”

“Jadi, gimana, dong....”

“Ng... kupikir... kalo kamu manggil namanya dengan lembut dan penuh perasaan, pasti dia bakal nengok ke kamu. Cewek maunya sesuatu yang lembut dan berperasaan, kan....”

“Aku baru tau tuh, Kak.... Kalo aku manggil nama Kakak pake cara kayak gitu, Kakak bakal nengok?”

“Eh? Ahahaha.... Pasti, dong.... Aku cewek juga, kan....”



Eh? Eh... eh.... Tiba-tiba aku teringat lagi. Potongan masa kecilku.... Kali ini bukan anak kecil perempuan. Kali ini... seorang wanita dewasa yang cantik sekali. Benar-benar seperti tipe kesukaanku. Tapi, “Kakak”? Siapa dia? Aduh... kepalaku jadi agak pusing.... Mungkin saja aku bisa mencoba cara itu, ya.... Mungkin saja... benar....

“Eh... Kak Rachel....”

Rasanya aku ingin tertawa. Entah kenapa... ada sesuatu yang menggelikan dengan nada bicaraku. Mungkin karena aku tidak terbiasa dengan cara memanggil yang lembut dan penuh perasaan itu, ya.... Sekarang aku benar-benar merasakannya, mungkin gara-gara hal ini aku tidak pernah bisa mendapatkan cewek satu pun, ya.... Payah, nih....

Rachel meletakkan bukunya di atas meja. Dia menatapku dengan wajah tanpa ekspresi. Ah... hentikan.... Jangan menatapku seperti itu. Entah kenapa rasanya menyeramkan sekali....

“Menjijikkan....”

Cukup satu kata yang bagaikan harpoon yang menembus jantungku. Paling tidak... cari kata lain yang lebih halus.

“Ah... ya... maaf kalo menjijikkan....”

Rachel kembali membaca buku. Aku tidak diacuhkannya. Luar biasa.... Baru kali ini aku bertemu cewek yang sangat dingin seperti Rachel. Kenapa dia sedingin itu? Apakah dia membenci aku? Tidak mungkin juga, sih.... Aku baru bertemu dengannya bulan lalu saat terjadi insiden aneh itu. Masa dia langsung membenci orang yang pertama ditemuinya? Entah kenapa aku jadi merasa down sekali....

“Hei... Andry, kalau saya nggak salah....”

Ada suara dari arah belakangku. Suara itu... kalau aku tidak salah... Shinta? Aku segera menengok ke belakang. Ternyata memang benar.

“Oh... Kak Shinta.... How are you? Fine?”

“Teehehehehe.... Lucu, deh....”

Aku bukan badut....

“Ah, tadi ngobrol ama Rachel?”

Aku menggeleng kepala. “Sebenarnya, Kak....”

Aku menceritakan semuanya pada Shinta. Dia hanya tertawa-tawa saja menanggapi ceritaku itu.

“Kalau dia bisa ngomong satu kata, itu bagus sekali....”

Separah itu?

“Yah... biasanya kalo ada cowok yang ngajak ngobrol, Rachel cuma diam sambil natap cowok itu tanpa ekspresi. Biasanya nggak ada cowok yang bisa bertahan lebih dari lima menit.”

Benar-benar parah....

“Makanya... kalo Rachel bisa ngomong ‘menjijikkan’, itu luar biasa!”

“Benar-benar gak bisa dipercaya....”

Walaupun dia bilang begitu, tetap saja rasanya aneh. Aneh... sekali.

Aku duduk di bagian depan Rachel; Shinta sendiri duduk di sebelah Rachel. Mereka berdua kontras sekali. Seorang wanita yang sangat hangat dengan yang sangat dingin, yang sangat ramai dengan yang sangat sunyi. Kombinasi yang unik. Tapi, ada satu hal yang sama: mereka berdua sama-sama manis dan cantik, sama-sama tipe kesukaanku.

“Kak Shinta sering belajar di sini?”

“Belajar? Nggak juga.... Sebenernya saya nggak rajin. Kalo Rachel, sih... emang kelewat rajin. Saya ke sini buat bantu Rachel nyusun skripsi aja, kok....”

Skripsi? Ah... sudah tingkat empat, sih.... Tapi, bukannya skripsi ada di semester genap? Kenapa Rachel mengerjakannya di semester ganjil? Bisa, ya?

“Terus, Kak Shinta sendiri nggak nyusun skripsi?”

“Saya? Teehehe.... Nggak. Saya nyusunnya tahun depan. Saya nggak sepintar Rachel, sih....”

Oh, berarti dia ada beberapa mata kuliah yang diulang, dong.... Manusiawi sekali....

“Memang saya sering dimarahin Rachel juga, sih.... Walau sebenernya bisa ngambil 24 SKS tiap semester, tetap aja saya cuman ngambil 14 atau 16 SKS. Supaya bisa lebih santai, kan....”

24 SKS? Itu berarti... IPK Shinta di atas 3,5! Berarti dia sebenarnya....

“Hm... Kak, saya penasaran, nih.... Sehari-hari Kak Rachel memang jarang ngomong, ya?”

“Ya, memang jarang banget. Walau gitu, dia lumayan jago pas nerangin sesuatu. Rachel asisten dosen, lho....”

Hah? Rachel adalah asisten dosen? Keren....

“Waw... saya baru tau kalo Kak Rachel itu asdos. Hebat, dong....”

“Biasa aja.”

Benar-benar jawaban yang singkat, padat, dan jelas, plus tanpa emosi. Rasanya menarik sekali.... Entah kenapa aku merasa tertantang untuk membuatnya berbicara lebih banyak. Tapi, bagaimana caranya?

Aku melihat ada beberapa buku di hadapan Rachel. Tiba-tiba aku mendapat ide nakal. Bagaimana kalau semua buku itu kusimpan dalam genggamanku? Kalau seperti itu, saat dia ingin membaca buku yang lainnya, dia akan minta padaku, kan.... Saat itu dia akan berkata sesuatu, kan? Oke, ide brilian! Langsung saja aku mengambil semua buku yang ada di hadapan Rachel dan menumpukkannya di depanku. Shinta sedikit heran melihat tingkahku.

“Ngapain?”

“Biar saya pegang dulu semua bukunya. Nanti kalo Kak Rachel mau baca salah satu dari yang saya pegang ini, ngomong, ya....”

Sepertinya Shinta sangat mengerti maksudku. “Teehehe.... Ide bagus! Kalo gitu, mulai sekarang saya bantu kamu ngerjain Rachel, ya....”

Aku mengacungkan jempol. “Oke, sip!”

Rachel tidak perduli. Dia tetap membaca buku yang sedari tadi dipegangnya.

Aku mengobrol banyak dengan Shinta. Dari ceritanya, aku baru tahu ternyata Shinta sebenarnya anak bungsu yang menjadi anak tunggal karena kakaknya meninggal di jalanan. Lain halnya dengan Rachel. Dia sejak awal memang sudah menjadi anak tunggal.

“Terus, kenapa Andry balik ke sini? Nggak ama orang tua di Sulawesi?”

“Yah... kayak cerita saya tadi, dulu saya pernah tinggal di sini. Jadi, saya ke sini lagi supaya saya bisa ingat lagi tentang masa lalu saya.”

“Masa lalu?”

“Yah... entah kenapa ada banyak memori yang hilang. Yah... hanya ingat samar-samar saja....”

“He... ada hal yang kayak gitu, ya....”

Time capsule....”

Tiba-tiba Rachel memotong pembicaraan Shinta. Mungkin pembicaraan ini sedikit menarik minatnya.

“Oh, ya! Teehehehe.... Saya ama Rachel juga sempat buat yang begituan, lho.... itu kejadiannya pas saya dan Rachel masih sekelas di tingkat satu. Kira-kira kapan kita buka lagi, Rach?”

“7 tahun, 5 bulan, dan 11 hari lagi.”

“Teehehe.... Jangan terlalu detil gitu, Rach....”

Hebat... dia menghitung semuanya dengan sangat cermat, ya....

Oh, benar... membicarakan time capsule, apakah aku pernah membuatnya, ya? Hm... itu bukan budaya di sini, sih.... Jadi, entah aku dulu pernah membuatnya atau tidak.... Cih! Andaikan dulu aku membuatnya juga....

Tiba-tiba Rachel menutup dan meletakkan bukunya di atas meja. Matanya menatap lurus ke tumpukan buku di hadapanku. Dia ingin membaca buku yang lain! Ini saatnya!

“Teehehe.... Ayo, Rachel.... Bilang, dong.... Mau baca yang mana?”

Rachel menatap aku tanpa ekspresi; Shinta tertawa-tawa sambil menikmati acara ini. Dia benar-benar... datar. Mungkin nanti aku harus memanggilnya plain yoghurt.

“Tolong... buku yang hijau.”

Ahahahahahahaha....

Rasanya ingin tertawa. Tapi, tidak mungkin aku tertawa di sini.

“Oke, ini buku yang hijau, Nona....” ujarku sambil memberikan buku itu kepada Rachel.

“Teehehe.... Andry lucu banget! Baru kali ini ada cowok yang bisa mainin si Rachel.”

Ah, terima kasih.... Tapi, sejujurnya, aku pasti sudah kabur dari tadi kalau seandainya Shinta tidak ada di sini. Thanks to you too....

Aku memperhatikan Rachel. Memang dia manis sekali.... Hahaha.... Andaikan dia mau lebih sering bicara dan tersenyum.

“Eh, Rachel... bandomu posisinya kurang pas, tuh....”

Shinta berdiri untuk membetulkan posisi bando plastik berwarna biru muda yang dipakai Rachel. Sepertinya bando itu sudah lama sekali. warnanya sudah agak kusam. Ah... kalau kuingat-ingat, ketika pertama kali bertemu juga... dia pakai bando itu. Apakah dia memakai bando itu setiap hari? Hm... manis juga, sih....

“Teehehehe.... Bando ini adalah harta milik Rachel yang paling berharga. Dulu waktu bando ini hampir hilang, dia langsung nangis-nangis gitu, lho....”

“Hee... pasti bando yang penting banget dan penuh kenangan, ya....”

“Teehehehe.... Ya. Untung waktu itu Andry belum ada di sini. Kalo Andry lihat, pasti gak akan nyangka Rachel yang begitu cool bisa nangis sesenggukan cuma gara-gara kehilangan bando.”

Aku tidak berani membayangkan. Pasti lucu sekali.... Seperti apa wajah Rachel kalau dia menangis, ya....

“Kalo boleh tau, Kak Rachel dapet bando itu dari siapa? Atau beli di mana?”

“Dapet dari temen, waktu masih kecil.”

“Teehehehe.... Jadi, dulu waktu Rachel masih kecil, ada temen deketnya yang ngasih bando ini untuk kenang-kenangan.”

“Oh.... Terus, temennya itu di mana?”

Rachel menggeleng kepala. “Gak ada. Dia pergi gitu aja. Bagiku dia udah mati.”

Entah kenapa... sepertinya ada angin dingin. Rasanya sedih sekali.... mendengar kata-katanya itu membuat aku tidak bisa berkata apa-apa.



Eh, Salma... menurut kamu cewek yang lebih tua suka bando itu, gak?”

“Kenapa tanya aku? Kalo cewek yang lebih tua, sih... tanya Mbak Rizka, dong....”

“Malu.... Udah, tebak aja!”

“Auh... anu... pasti suka aja, sih.... Biasanya cewek suka sesuatu yang manis. Biasanya....”

“Ya udah, aku beli bando itu buat si Kakak, deh....”



Lagi-lagi aku seperti melihat potongan ingatan masa laluku. Kali ini tentang bando.... Masa, sih.... Tapi, tidak mungkin....

“Oh, ya... Andry, kamu punya ponsel, kan? Boleh minta nomornya? Kita tukeran, yuk!”

Suara Shinta membuyarkan lamunanku. 

“Oh, boleh.... Saya juga minta nomor telepon Kak Shinta, ya.... Sekalian juga nomornya Kak Rachel, ya....”

“Boleh.... Tapi, kayaknya kamu nggak akan dapet nomornya si Rachel, deh.... Soalnya dia nggak mau ngasih nomornya ke orang lain. Di phonebook-nya aja cuma ada nomor ayahnya, saya, ama beberapa dosen.”

Serius, nih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar