Kembali
“Wei... bangun! Wei... bangun!”
Berat.... Kepalaku terasa berat. Aku mengantuk. Tadi malam aku tidur terlalu larut. Aku masih mengantuk.... Masih mau tidur....
“Wei... bangun! Goblok! Bangun!”
Menyebalkan! Tenganku perlahan-lahan mencari-cari ponselku di lantai. Aku harus segera mematikan alarmnya. Harus! Harus! Pagi yang damai ini bisa segera hilang kalau alarm brengsek itu tidak segera aku matikan.
Pagi. Cerah. Masih agak sejuk. Ah... pagi ini indah sekali. Eh... benar juga.... Aku bisa bangun dengan cepat. Hahaha.... Berkat alarm aneh itu. Hm... itu ide teman bisnisku. Dia bilang, “Rekam suara lu sendiri, yang paling aneh, buat ringtone hape lu. Supaya gak ada yang niru. Jadi khas, kan....” Idenya bagus sekali.... Selain untuk ringtone, sekalian saja aku rekam juga untuk bunyi alarm. Ponsel jaman sekarang memang luar biasa!
Pagi yang indah. Ya, itu yang selalu aku pikir setiap pagi. Bersyukur.... Aku masih bisa menikmati pagi ini. Ah... terima kasih, Tuhan! Yap, sebagai tanda terima kasihku, aku harus memanfaatkan hari ini dengan berbagai hal-hal yang benar! Harus!
Aku bangkit dari tidurku. Memang terasa agak pegal, tapi... tetap luar biasa! Dahsyat! Apalagi hari ini adalah hari yang istimewa. Sangat istimewa. Semangat pun langsung meningkat.
Ponselku berbunyi. Timing yang tepat. Aku baru saja bangun – andaikan dia menelepon lebih cepat 5 menit, pasti aku tidak akan menjawab. Entah... siapa yang menelepon. Aku lihat layar ponsel. Hm... Oh.... Incoming call: S@LM@
Entah kenapa... menelepon di saat seperti ini?
“Halo....”
“Wah... hebat! Udah bangun!”
“Yah... baru aja. Kenapa?”
“Oh... gak apa-apa. Kayak biasa....”
“Oh, ya....”
“Selamat ulang tahun!”
“Bukan aku, kan....”
“Ya, makanya tolong bilangin ke dia....”
“Kenapa gak kau aja yang ngucapin sendiri? Kirim pake e-mail atau apa, kek.... Kenapa harus lewat aku?”
“Males! Lagian aku gak terlalu kenal. Makanya, tolong....”
Aku menghela napas panjang. “Dasar....”
“Hari ini... kayak tahun-tahun sebelumnya? Datang ke Lampung, kan?”
“Ya.... Tahun ini juga... tolong, ya....”
“Oke.... Nanti ada Pak Dani yang bakal ngurus kamu seharian penuh. Tenang aja....”
“Oke, thanks....”
“Oh, pulangnya hari ini juga? Atau besok? Atau... kapan?”
“Mau ngusir, ya? Padahal nyampe aja belum....”
“Ih... mikir jelek, tuh....”
Aku tertawa kecil. “Bercanda. Mungkin besok atau lusa. Yang pasti... pulangnya naik bus atau kapal cepat.”
“Ya... bagus! Gini... rencananya Mama mau bikin pesta kecil....”
“Pesta? Buat apa?”
“Ya... seandainya kayak tahun lalu.... Hitung-hitung buat hibur kamu.... Gimana?”
“Apakah... aku sebegitu menyedihkan sampe harus dihibur?”
“Eh... bukan gitu....”
“Bercanda. Yah... bagus, dong.... Makan-makan, nih....”
“He... makanya, jangan cepet-cepet pulang. Rugi, lho....”
“Iya, deh....”
“Bagus....”
Aku tertawa kecil. “Dasar....”
“Weee....”
“Oh, terus, gimana kabar Salman? Tante?”
“Oh... mereka masih gitu-gitu aja. Apalagi Salman. Sampe sekarang masih nganggur. Kasihan, deh....”
“He.... Memang jaman sekarang, ya....”
“Ya.... Makanya kadang dia nelangsa, gak jelas.... Memang orang frustasi....”
“Yah... hari gini gak akan bisa hidup kalo cuma ngandalin pekerjaan dari orang lain. Kenapa gak buka usaha sendiri? Jangan bilang takut....”
“Yah... bukannya tahun lalu juga kamu pernah bilang gitu? Memang... dia takut ini, takut itu, takut semuanya! Nggak heran negara ini gak pernah maju.... Sebagian besar orangnya takut segala hal, sih.... Makanya pikirannya jadi sempit.”
Aku tertawa kecil. “Terus kamu sendiri?”
“Oh, belum tau? Aku buka spa ama temen-temen, lho.... Belum lama, sih....”
“Akhirnya berwirausaha juga....”
“Ya, dong.... Ikut kamu. Kayak yang pernah kamu bilang dulu... ‘bukan karena semua sulit kita jadi takut, justru karena kita takut semuanya jadi sulit’. Bener-bener bagus.... Makanya... aku berbisnis.”
“Ya... begitulah.... Bagus, dong....”
“Oh... kamu baru bangun, kan.... Mendingan cepet siap-siap, deh.... Naik pesawat jam berapa?”
“Hm... yang paling pagi, sih.... Tepatnya... lupa. Nanti aku SMS, deh....”
“Ya udah. Nanti kamu SMS aja jadwalnya, ya.... Oh, kalo aku ada kesempatan, nanti aku ikut jemput, deh....”
“Oke... thanks.”
“Bye....”
“Yoi... bye....”
Trek! Sambungan terputus.
Hoah... aku menguap. Masih mengantuk, sih.... Apa boleh buat. Aku harus segera bangun! Bersiap-siap. Bukan ke kantor! Aku harus ke airport!
Aku melihat ke layar ponselku. Wallpaper-nya tidak pernah berubah sejak beberapa tahun lalu walau ponselnya sudah beberapa kali berubah. sebuah foto. Foto yang istimewa. Foto yang membuatku memiliki keinginan yang kuat. Keinginan yang... bagaimanapun caranya harus tercapai. Harus!
Aku duduk di kasurku dan memejamkan mata. Aku mulai mengatur napasku, perlahan-lahan... perlahan-lahan... perlahan.... Tenang. Aku mulai membayangkan suasana yang tergambar di foto yang kujadikan wallpaper ponselku. Suasana pantai. Pantai.... terdengar. Tercium. Terlihat. Aku membayangkan suasana pantai. Suara ombak, suara dedaunan kelapa yang dibelai angin, di kejauhan ada suara kapal motor nelayan.... Wangi garam.... Horizon, langit biru yang cerah, permadani biru agak kehijauan berayun-ayun, pasir putih.... hangat. Damai. Aku bayangkan lagi... diriku berjalan di pantai itu, berdua bersama seorang wanita cantik. Wanita yang selama ini aku tunggu.
Aku membuka mata. Ya... proses afirmasi selesai. Sekarang tinggal lakukan apa yang perlu aku lakukan untuk mencapainya. Ke Lampung.... Ke tempat perjanjian. Ke tempat yang penuh kenangan. Ke tempat saat aku menghabiskan masa mudaku dengan berbagai hal bodoh. Yah... kelakuan anak muda jaman sekarang.
Aku menghela napas panjang. Lampung, ya.... Tempat yang sangat berkesan bagiku. Padahal... lebih dari setengah hidupku kuhabiskan di luar Lampung. Tapi, itu tidak masalah....
Aku melihat layar ponselku lagi. Wallpaper-nya tidak pernah berubah – ya, tentu saja... aku tidak akan pernah mengubahnya. Sebuah foto dari tanah Lampung. Foto pantai yang di bagian tengahnya ada seorang wanita cantik. Yah... kalau dipikir-pikir, aku harus berterima kasih kepadanya karena dia sudah mengubah pola pikirku, dari yang awalnya hanya berpikir main-main is the best menjadi lebih serius dan fokus mengejar keinginan. Hebat.... Jujur, aku kangen padanya. Oh, ya... ini kisah menarik. Bagaimana kalau aku mengingat sebentar kisah romantisku ini? Hahaha.... Kisah anak muda Indonesia. Yah... paling tidak... ini bisa menjadi hiburanku di pagi hari karena aku sangat menyukai cerita ini dan bagiku inilah kisah terbaik sepanjang sejarah hidupku. Ya... dan sekarang aku akan mengingatnya lagi, bercerita untuk diriku sendiri... tentang kisah yang tak terlupakan.
Hari yang panas sekali. Panas. Sebenarnya kalau tidak ada keperluan, aku tidak ingin datang ke tempat seperti ini. Airport…. Ah… ini bukan airport besar, sih…. Penuh orang-orang yang tidak jelas asal-usulnya: yang tua maupun muda, yang rapi maupun berantakan, yang terlihat baik maupun sangar. Semua jenis orang ada.
Minggu siang seperti ini seharusnya aku pakai untuk istirahat. Seharusnya, sih…. Tapi, aku tidak bisa tidur kalau tidak ke sini. Mau tahu kenapa? Karena aku dikirim orang tuaku ke kota ini. Di sini aku akan tinggal bersama pamanku, kakaknya ayah. Lalu, sekarang aku menunggu sepupuku yang rese itu menjemputku. Keterlaluan sekali dia…. Sudah hampir dua jam aku dibiarkan menunggu di tempat seperti ini. Sepertinya aku harus memukulnya saat bertemu nanti.
“Andry, sebentar lagi Mbak Rizka nyampe, kok…. Jadi, nyante aja, okey….”
Ini sms terakhir yang aku terima dari sepupuku beberapa menit lalu. Sepertinya aku tidak bisa segera memukul kepalanya. Dia cerdik. Dia tahu aku pasti akan marah. Makanya dia menyuruh kakaknya, Mbak Rizka, untuk menjemput aku. Awas saja, ya…. Dia tidak akan selamat juga, kok….
Aku menghela napas panjang. Mataku memandang langit biru nan luas. Damai. Hahaha.... Setiap saat aku selalu berpikir betapa damainya dunia ini. Lihat... langit biru itu menyejukkan hati, kan.... Kadang aku bisa seperti orang gila. Karena aku terlalu menghargai alam? Yah... mungkin saja. Tapi, kupikir bukankah itu hal yang seharusnya? Kalau... orang bisa kembali bersatu dengan alam, mungkin... setiap saat kita bisa mendengar anjing dan kucing saling berbisik mengucapkan salam, ya.... Mungkin. Ah... betapa damainya dunia.
Kakiku pegal.... Hampir mati rasa. Entah sudah berapa lama aku berdiri di sini, ya.... semakin lama semakin tidak enak. Sudah ada berapa supir taksi yang aku tolak, ya.... aku tidak mau menolak lagi.... Tapi, kalau pulang naik taksi, bayar berapa, ya.... Pasti mahal sekali. Hah... bagaimana ini....
Aku mengeluarkan ponselku dari kantong celana. Main. Yah... lebih baik sambil menunggu aku main game saja. Entah apa yang bisa aku mainkan. Atau... mendengar musik? Wah... kebetulan ponselku sangat bagus kualitas suaranya. Jernih. Yang mana? Hm... yah... dengar musik saja, deh.... Lebih kelihatan normal.
Aku mengeluarkan earphone dari tasku dan langsung menghubungkannya ke ponselku. Aku pasang di telinga kiri dan kanan, music start.... Let’s rock `n roll!
Jeng! Jeng! Jeng! Jeeeeng! Jeng! Jeng! Jeng! Jeeeeeeeeng!
Apanya yang “Let’s rock `n roll!”? Padahal aku memasang musik Beethoven. Benar-benar tidak matching.... Andaikan aku sempat memasang lagu-lagu pop terbaru.... Ah, jangan, deh.... Entah kenapa... lagu-lagu jaman sekarang banyak yang tidak bersemangat dan tak bergairah alias cengeng. Kalaupun semangat... tapi ada kesan negatif. Seperti akan mati.... Mungkin menyesuaikan dengan kondisi bangsa ini, ya.... Hahaha.... Hah.... Aku menghela napas panjang. Jadi, beginilah kalau... bosan, ya.... Bosan…. Menyebalkan.
Di depanku ada tempat parkir. He… apa yang bisa aku mainkan supaya tidak bosan, ya…. Mengempesi semua ban mobil yang ada? Ah, jangan…. Itu kriminal. Atau… ya… aku hitung saja satu-persatu. Hahaha…. Ini pasti akan lucu. Ada… 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7… he… banyak!
Di kejauhan ada sedan silver datang ke arahku. Perlahan-lahan… bergerak ke arahku. Rasanya aku kenal mobil itu. Eh… jangan-jangan mobil itu….
Sedan silver itu berhenti tepat di depanku. Aku bisa melihat, melalui kacanya, siapa yang mengendarainya. Orang yang aku kenal. Mbak Rizka…. Akhirnya…. Sepertinya penderitaanku berakhir di sini. Baguslah….
Kaca jendelanya turun.
“Maaf, ya…. Jadinya kamu nunggu lama.”
Setelah menunggu 2 jam lebih 38 menit, akhirnya Mbak Rizka menjemput aku. Aku sudah karatan di sini.
“Aduh… si Salman emang parah…. Tau gak, dia bener-bener lupa tugasnya. Sekarang, sih… dia lagi dimarahin Mama, tuh…. Nanti pukul aja dia….”
Aku menghela napas panjang. No comment, deh…. Si bodoh itu tidak berubah. “Mbak sendirian ke sini?”
“Yah… gitu, deh…. Padahal awalnya si Salma juga mau ikut.”
Aku membuka pintu dan langsung masuk. Mobil berjalan.
Nah… sepupuku yang bodoh dan rese itu adalah Salman. Dia seumur denganku. Sama-sama 18 tahun. Dia punya saudari kembar yang namanya Salma. Kalau Salma… tidak terlalu bodoh, sih…. Sebenarnya dia hanya terlalu polos dan lugu sehingga dia jadi terlihat bodoh. Ah, seharusnya Salma yang jadi kakak. Tapi, karena suatu hal, peran kakak jadi dipegang Salman. Yah… mungkin itu lebih baik, sih….
“Terus, gimana kabar Salma? Tante ama Om?”
“Hoho… mereka selalu luar biasa! Terutama si Salma. Berapa hari ini dia nggak bisa tidur karena nungguin kamu, lho….”
Heh? Apa maksudnya? Untuk apa dia menungguku?
“Yah… kalian udah hampir 10 tahun nggak ketemu, kan…. Padahal dulu akrab banget…. Kemarin aja ketemu cuma 3 hari karena kamu ikut tes.”
Yah… memang sudah hampir 10 tahun aku tidak datang ke kota ini. Karena Papa dikirim ke Sulawesi untuk kerja, sih…. Sekarang Papa dan Mama masih di Palu bersama adikku. Kalau kakakku ada di Makassar. Dia kuliah di sana.
Oh… kalau kuingat-ingat, dulu 10 tahun yang lalu aku sering sekali bermain dengan sepupu-sepupuku. Terutama dengan Salma dan Salman. Tapi, yang paling kusukai saat itu adalah bermain bersama Mbak Rizka. 10 tahun yang lalu dia sudah SMA. Dadanya sudah lumayan berisi, tuh…. Memang… dadanya sedikit lebih besar dibandingkan anak-anak seumurannya. Sekarang juga begitu. Hahaha…. Saat itu aku sering sekali meremas-remas dadanya sambil berseru kegirangan, “Big tetek! Big tetek!” Entah dari mana aku tahu kata “big” itu. Yang aku ingat saat itu Mbak Rizka tidak pernah memarahiku. Dia hanya sesekali menyentil dahiku sambil tertawa dan berkata, “Dasar porno….” Kalau mengingat hal itu, rasanya malu sekali….
“Kenapa kamu ngelamun?”
Suara Mbak Rizka membuyarkan pikiranku. “Ah… yah… cuma bernostalgia dikit….”
“Masa… kamu inget kesukaan kamu dulu?”
Maksudnya?
“Ahaha… dulu kamu hobi banget pegang-pegang dadaku. Lihat, nih…. Makin gede, kan? Makin suka, gak?”
“Hentikan…. Jangan ngegoda aku kayak gitu…. Malu, tau….”
“Oho… padahal aku udah siapin dadaku untuk kamu pegang-pegang, lho….”
“Serius?”
Mbak Rizka menyentil dahiku dengan sangat keras. “Nggak, dong…. Dasar porno! Aku nggak akan biarin kamu mati bahagia karena ngegerayangin aku.”
Aku tidak akan mati bahagia karena hal “itu”, Mbak Rizka….
Rumah yang lumayan besar. Rumah tanteku. Mulai hari ini aku akan berada di bawah pengawasannya. Hahaha…. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat ibuku. Sekarang… dia sedang apa, ya…. Padahal… baru 1 hari tidak bertemu….
Sesampainya di rumah, aku langsung digiring ke ruang keluarga. Seperti biasa, salam dulu…. Tanteku sudah menunggu di sana. Dia menungguku.
“Wah… gimana perjalananmu, Andry?”
“Wow… lumayan capek, Tante….”
Mbak Rizka menyelak pembicaraanku. “Ya iyalah, Ma…. Dia habis nyebrang dua pulau, lho…. Pasti capek, dong….”
Sebenarnya bukan menyebrang pulaunya yang jadi masalah, sih…. Soalnya aku naik pesawat, kan…. Yang membuatku sangat lelah adalah menunggu di airport. Man… aku sudah karatan dari tadi.
“Terus, gimana kabar Papa dan Mamamu?”
“Yah… selalu sehat.”
“Tapi… Tante agak bingung juga…. Papamu itu tiba-tiba minta Tante ngurus kamu di sini. Nggak masalah…. Tapi, kenapa di Bandar Lampung? Bukannya di Makassar ada kakakmu? Tante pikir di Makassar lebih bagus, kan….”
Ada hal khusus kenapa aku lebih memilih di sini. Yang pertama adalah karena aku tidak mau bertemu kakakku yang menyebalkan itu. Dia bisanya cuma memperbudak orang, sih…. Mana mau aku tinggal bersama orang seperti itu. Yah… alasan lainnya, sih….
“Ehe…. Andry udah nyampe, ya?”
Yah… inilah alasan lainnya aku mau datang ke sini. Hehehe… untuk melihat sepupuku yang manis dan cantik ini, si Salma. Dulu ketika aku masih tinggal di kota ini, setiap hari aku bermain bersamanya. Sambil bermain aku selalu berpikir, “Cantik sekali sepupuku ini…. Aku benar-benar pria paling beruntung di dunia ini”. Dan sekarang… ohohoho… seperti dugaanku, dia memang semakin cantik dan manis – sebagai catatan, ternyata dia tidak seperti Mbak Rizka, mengecewakan. Tapi tidak apa-apa, deh…. Berada di antara dua gadis cantik, kali ini aku baru benar-benar bisa mati bahagia….
“Oh, ya… kamu ke sini bukan buat mikir yang nasty, kan?”
Guah! Kata-kata Mbak Rizka langsung menohok hati.
“Ya… nggak gitulah….”
“Yah… baguslah…. Soalnya aku nggak mau ngehukum sepupu sendiri di sini maupun di kampus.”
Heh? Maksudnya?
“Yah… nanti kamu akan tahu sendiri…. Setelah kita start kuliah.”
Aw… sepertinya ada yang amis di sini….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar