Reader yang bijak akan selalu meninggalkan jejaknya. :D Karena itu, silakan post komen atau klik "reaction" di tiap entry yang ada. :D Trims semua.... GOD BLESS YOU!!!

Kamis, 25 Agustus 2011

Lavender 02


Titik Temu

Hari-hari yang indah. Setidaknya kata-kata itu yang sangat ingin aku teriakkan di depan kampus. Bagaimana tidak? Cerah, banyak hiburan baru – maksudnya cewek-cewek kampus – yang membuatku terpaku, musim semi! Aku tidak pernah berpikir ternyata di bagian barat banyak cewek yang menarik.

Hm… sebenarnya aku ingin segera berkenalan dengan banyak orang – kalau bisa hanya cewek saja karena aku tidak butuh cowok. Sudah hampir tiga bulan aku di kampus ini. Tapi, entah kenapa… rasanya agak susah mau berkenalan. Kenapa, coba? Gara-gara dua sepupuku itu terus mengekorku! Gara-gara mereka jadi seperti ada tembok tak terlihat di antara aku dengan cewek-cewek yang aku temui. ARGH!!! Sebaiknya mereka cepat-cepat menyingkir saja! Eh… tidak juga… sebaiknya si Salman saja yang pergi jauh-jauh! Kalau dia tidak ada, aku bisa bersama-sama Salma, kan…. Kalaupun tidak mendapat cewek luar, tidak ada salahnya aku embat sepupu sendiri. Toh… dia juga masuk kategori cantik dan manis yang kuinginkan. Hahaha…. Eh… berpikir apa aku ini?
“Kalian… kenapa kalian nggak biarin aku pergi sesekali sendirian.”
Salman menepuk-nepuk pundakku. “Hohoho… itu nggak bisa, bro…. Pasti nanti kamu punya rencana aneh.”
Si keparat Salman….
“Auh… eh… bukannya lebih bagus kalo kita terus sama-sama? Dulu juga kita selalu sama-sama, kan….?
Dan sekarang Salma malah menguatkan Salman.
“Aku heran… kenapa kalian bisa ada di jurusan yang sama, sih…. Nggak bisa kupercaya….”
“He… dari awal aku udah bilang mau masuk Ekonomi, kan….”
Aku tahu Salma memang mau masuk Fakultas Ekonomi. Justru aku masuk Ekonomi juga karena Salma masuk sini. Tapi, bukannya si Salman akan masuk Hukum? Kenapa dia di sini juga? Ah… yang lebih tidak bisa kupercaya, sejak kapan Mbak Rizka jadi dosen di sini? Benar-benar… tidak mungkin. Apakah karena kota ini terlalu kecil?
“Ayo, bergembiralah…. Kita mahasiswa baru, lho…. Banyak hal baru di sini, kan….”
Walaupun kamu berkata begitu, Salman….
“Bukannya cewek-ceweknya lebih ngejreng daripada anak-anak SMA? Seharusnya kamu lebih semangat, dong….”
“He… kayak biasa, ya…. Ternyata Andry juga hobi ngeliat cewek-cewek cantik, ya….”
Hentikan…. Jangan berkata begitu, Salma…. Seolah-olah aku ini… seperti apa, gitu….
Salman mendekatkan mulutnya ke telingaku. “Yah… memang di sini ada banyak cewek cantik…. Aku tau semua pikiran kamu. Tapi jangan coba-coba nyentuh si Salma, ya…. Gua bunuh lu nanti…. Embat aja cewek lain, oke….”
Anak ini…. Rasanya aku ingin mematahkan hidungnya….
Salma menarik bahuku. “Ngomongin apa, sih? Nggak boleh bisik-bisik di depan orang lain, lho….”
Salman menepis tangan Salma dari bahuku. “Nggak ada apa-apa, kok….”
Salma sedikit cemberut. Aduh… justru ekspresinya yang seperti itu membuatnya jadi terlihat lebih manis.
“Bohong….”
“Serius! Nggak ada apa-apa, kok.... Kamu terlalu curigaan aja....”
Sebenarnya ada apa-apa, sih.... Tapi dia tidak mau berkata yang sesungguhnya. Dasar Salman....
“Hei, Salman! Coba ke sini sebentar, dong....”
Si Riza, teman seangkatan sekaligus juga sekelas Salman. Sepertinya ada sesuatu. Lucky.... kali ini Salman menjauh dariku dan Salma. Ini kesempatanku untuk melarikan diri! Harus sekarang!
“Hehe... maaf, ya....” Tiba-tiba Salma menggenggam tanganku dan kemudian berlari sambil menarik aku.
“Tunggu! Apaan, sih....”
“Habisnya... Salman terus ngeganggu, sih.... Padahal aku pengen berdua ama kamu juga.... Jadi, kita kabur aja dulu! Entah ke mana... gitu....”
Cut the crap! Justru aku ingin melarikan diri dari kamu juga.... Padahal aku ingin benar-benar bebas dari kalian berdua supaya aku bisa hunting cewek.... Kalau seperti ini, sih... tetap saja....
Aku merasa orang-orang melihat ke arah kami. Memang kupikir pemandangan yang agak aneh, sih.... Biasanya laki-laki yang menarik-narik perempuan. Kali ini sebaliknya. Man.... betapa memalukannya....
Akhirnya jauh dari jangkauan Salman. Setelah berlari beberapa menit, rasanya dadaku seperti akan pecah. Napasku terengah-engah. Payah... gara-gara sudah lama tidak olah raga, nih.... Sepertinya nanti aku harus olah raga teratur lagi.
Salma juga terengah-engah. Tapi, masih ada kesenangan lain terlihat di matanya. Entah kenapa sepertinya dia senang sekali. Apakah dia menikmati permainan ini?
Aku melihat ke sekeliling. Tidak ada siapapun. Jam segini mungkin sudah banyak yang pulang. Yang ada hanyalah gedung bercat warna krem di depanku. Hm... aku belum pernah ke daerah sini. Gedung apa, ya? Mungkin gedung untuk kuliah.
“Hehehe.... Udah lama nggak lari kayak gini.... Capek banget....”
“Salma... kita bukan anak-anak lagi, kan.... Malu, tau....”
“Nggak apa-apa, kan.... Sesekali jadi anak kecil juga bagus, kok.... Seenggaknya anak kecil lebih banyak imajinasinya dibanding orang gede, kan....”
Kenapa jadi membicarakan hal lain?
“Oh, ya... Andry, kamu pasti masih inget, kan.... Dulu juga kita sering main-main kayak gini.”
“Yah... memang aku ingat secara garis besarnya.... Tapi, entah kenapa aku nggak inget detilnya. Kenapa bisa lupa, ya.... Padahal itu kenangan bagus, ya....”
Salma menghela napas. “Yah... nggak apa-apa kalau kamu nggak ingat. Makanya... kita buat kenangan yang baru aja, yuk....”
Hei... hei.... Kali ini kamu bicara kayak... orang yang baru jadian. Dasar cewek.... Tapi, ya sudahlah.... Membuat kenangan baru bersama Salma juga tidak jelek, kok.... Ah... aku benar-benar beruntung bisa mempunyai sepupu yang cantik. Kalau mengingat hal ini, rasanya aku bisa mati bahagia. Eh, bisa lebih bahagia lagi kalau aku bisa memenangkan hatinya.
“HEI! AWAS!!!”
Aku mendengar suara teriakan cewek dari arah atas. Dari lantai dua? Secara spontan aku langsung mendongak untuk melihat ke arah sumber suara. BRAK! Sesuatu menimpa wajahku. Sesuatu yang... sepertinya agak berat dan keras – mungkin tidak terlalu berat, tapi terasa begitu berkat bantuan gravitasi. Aku tidak sempat melihat apa itu. Apa itu? Aduh... seketika rasanya kepalaku jadi pusing.
“Duh... kamu nggak apa-apa?”
Sepertinya Salma agak khawatir melihat kondisiku. Wajahnya tidak bisa berbohong. Aku melihat ke arah tangan kanan Salma. Ada buku novel. Novel itu tidak terlalu tebal, tapi sampulnya hard cover. Novel apa itu? Sepertinya buku itu yang menimpa wajahku tadi.
“Terus, cewek tadi?”
“Yah... dia langsung lari. Kayaknya dia bakal turun, deh....”
Aku mengangguk-angguk sambil mengusap wajahku. Masih agak sakit. Awas saja tuh cewek.... Kalau seandainya jelek, tiada maaf baginya. Benar-benar tiada maaf!
Tidak lama cewek tadi muncul sambil berlari. “Aduh... maaf, ya....”
Wow... sepertinya lumayan manis juga. Wajahnya imut. Yah... memang dia tidak terlalu tinggi, sih.... Mungkin sekitar 155 cm—160 cm. Untungnya tidak terlalu gemuk, tapi tidak juga terlalu kurus. Benar-benar pas.... Rambutnya panjang lurus dipotong shaggy. Wah... benar-benar mendekati tipe idamanku.
Aku segera mengambil bukunya dari tangan Salma. “Ah... nggak apa-apa, kok.... Tenang aja.... Cuma buku kayak gini, sih... masih kuat....”
Salma sedikit cemberut. “Apanya yang ‘masih’?”
Cewek asing itu mengamatiku dari ujung kaki ke ujung rambut. “Anu... eh... bener nggak apa-apa, kan?”
“Nggak apa-apa, kok.... Udah kebal, sih.... Tenang aja....”
Aw.... Enteng sekali aku mengatakan itu di depan cewek yang tidak kukenal.... Wew... pastinya aku keren banget! Hahaha... mungkin, ya.... Yang penting pikirannya dulu.... Kalau dari awal aku sudah berpikir jelek tentang diriku, pasti aku akan benar-benar jelek.
Di tempat cewek ini datang tadi, aku melihat seorang cewek lagi datang menghampiri. Wah... yang ini juga oke, nih.... Tapi... eh? Kenapa... sepertinya aku pernah bertemu dengannya? Entah di mana.... Ah, tidak mungkin.... Aku masih baru di kota ini. Tidak mungkin....
“Kenapa?”
Sepertinya Salma menyadari ada sesuatu dalam diriku. “Ah... nggak.... Nggak apa-apa,” jawabku sambil menggeleng kepala.
“Oh, Rachel... maaf.... Tadi aku lari duluan.”
Rachel? Oh... cewek yang baru datang itu namanya Rachel, ya.... Eh, Rachel? Rachel?

“Oh, ya... paling nggak kasih tau namamu, dong.... Curang, ah.... Masa cuma aku yang ngasih tau....”
“Hahaha.... Ya... namaku....”

Heh? Kenapa sepertinya... aku melihat potongan ingatan dari masa kecilku? Aku melihat ada anak cewek di depanku. Tapi, wajahnya.... Yang tertangkap hanya siluetnya saja. Itupun tidak jelas – mungkin karena ingatanku tidak terlalu baik. Anak cewek itu... siapa?
“Hei, kamu kenapa?”
Suara Salma menyadarkanku. “Ah... oh, nggak apa-apa.... Entah kenapa cuma agak....”
“Ah... jangan-jangan buku tadi....”
Aku menggeleng kepala. “Nggak, kok.... Oh, ini bukunya....”
Aku memberikan buku itu ke... entah siapa namanya si aneh itu. Mungkin setelah ini sebaiknya aku menanyakan namanya.
“Maaf, ya.... Tadi saya nggak sengaja ngejatuhin buku ini. Maaf....”
“Nggak apa-apa, kok....”
“Teehehe.... Yah... baguslah kalau nggak apa-apa....”
“Ya udah.... ayo kita pergi.”
Tiba-tiba si Rachel menarik tangan cewek aneh itu. Apa-apaan dia? Apakah tidak ada kata-kata lain? Dingin sekali....
“Eh? Sekarang? Padahal....”
“Ayo pergi.”
“Tunggu! Paling nggak gua tau nama kalian dulu, kek....”
Mereka semua melihat ke arahku. Terutama Rachel, dia menatap tajam ke arahku. Hei... hei.... Anak itu kenapa, sih? Kayaknya jutek banget.... Apa aku ada salah? Tidak.... Justru sebenarnya temannya itu yang bersalah. Hei... jangan bawa dia pergi begitu saja, dong....
“Teehehe.... Maaf.... belum kenalan. Saya Shinta, angkatan 2005. Ini teman saya, namanya Rachel, angkatan 2005 juga. Maaf... si Rachel emang dingin, jadi... jangan diambil hati, ya.... Tapi, sebenernya dia baik, kok….”
Angkatan 2005? Serius, nih? Berarti mereka mahasiswi tingkat 4? Buset, deh.... Aku melirik sedikit ke arah Salma. Sepertinya dia juga terkejut. Ternyata kami berurusan dengan mahasiswi tingkat 4. Gawat, nih.... Ternyata mereka jauh lebih tua....
“Teehehe…. Kalau kalian?”
“Oh… ya… saya Andry, dan ini sepupu saya, Salma. Yah… kami maba.”
“Eh… mahasiswa baru? Juga… saya pikir kalian pacaran….”
TENTU TIDAK! Sebenarnya… belum saja, sih…. Mungkin nanti bisa….
Rachel menarik tangan Shinta tanpa berkata apa-apa. Sepertinya dia sudah ingin pergi. Memang cewek yang benar-benar dingin, ya…. Padahal lumayan manis juga, sih…. Tapi, dia sepertinya bisa bersahabat baik dengan Shinta yang sangat ramah, ya…. Cukup unik….
“Ah… bye…. Nanti kalau ketemu lagi, kita lanjutin obrolannya, ya….”

“Jadi, tadi ke mana aja?”
Ini mimpi buruk. Salman benar-benar akan menghabisiku kali ini. Apa lagi kalau bukan gara-gara… aku melarikan diri bersama Salma.
“Jahatnya….”
Mati saja kau, Salman…. Kenapa sepertinya kamu sangat tidak suka kalau aku bersama-sama Salma. Jangan bilang kamu… cemburu. Cemburu? Cemburu dengan siapa? Tidak mungkin kamu… suka aku, kan…. Kalau itu benar, aku akan bunuh kamu!
“Man, bukan Andry yang ngebawa aku. Justru aku yang ngebawa Andry….”
Ah… kupikir dalam hal ini sebaiknya Salma tidak perlu membelaku. Aku yakin nanti suasananya akan menjadi semakin runyam. Tapi, ya sudahlah…. Cepat atau lambat semuanya akan beres dengan sendirinya. Yah… nanti juga aku akan tahu sendiri alasan Salman.
Kalau kupikir-pikir… aku merasa aneh setelah mendengar nama Rachel. Entah kenapa… sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Entah di mana dan kapan. Sepertinya nama itu sangat… sangat dekat denganku. Mungkin… aku harus banyak berbicara dengannya, ya…. Mungkin saja aku bisa mengingat tentang masa laluku. Walaupun hanya sedikit saja….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar