4
Katyusha?
Sore.
Aku segera pulang. Sesampainya di rumah, aku langsung ke kamar Salma karena ada
yang ingin kutanyakan padanya. Langsung saja tanpa mengetuk pintu, aku langsung
membuka pintu kamarnya.
“Hoi...
ada yang mau kutanya, nih....”
Seperti
biasa, Salma tidur tengkurap sambil membaca komik. Kebiasaan yang tidak berubah
dari sejak kecil. “Apa-apaan, sih.... Paling nggak ketok pintu dulu sebelum
masuk! Kalo misalnya aku lagi ganti baju....”
Aku
menghela napas panjang. “Yah... toh aku udah hapal ‘barang’-mu kayak gimana....
Aku juga udah hapal semua rahasia di badanmu. Kita dulu pernah beberapa kali
mandi bareng, kan....”
Salma
menatap tajam ke arahku. Wajahnya memerah hingga ke telinganya. Sepertinya aku
salah bicara, deh....
“Jadi,
mau nanya apa?”
“Tentang
bando biru.”
Salma
tersentak kaget. “Kamu bilang bando biru?”
Aku
mengangguk.
“Aku
nggak ingat pastinya, sih.... Mungkin Mbak Rizka tau.”
“Apapun,
deh.... Yang penting yang kamu inget aja....”
“Bando
biru.... Dulu kamu pernah nanya tentang bagus nggaknya bando biru. Kamu bilang
mau ngasih ke seseorang, kan....”
“Orang
itu... siapa?”
“Hm...
lupa, tuh.... Udah lama banget, kan.... Maaf... ingatanku tentang masa itu
nggak terlalu bagus. Coba tanya Mbak Rizka, deh.... Mungkin dia tau sesuatu.”
Aku
menghela napas panjang. Yah... wajar kalau Salma lupa. Saat itu dia berumur 8
tahun, kan....
Aku
keluar dari kamar Salma. Kali ini tujuanku adalah Mbak Rizka. Untungnya dia
berada di ruang keluarga. Sepertinya dia sedang mengerjakan sesuatu. Yah...
ganggu sebentar, deh....
“Mbak,
aku mau nanya sesuatu. Ini berkaitan ama masa waktu aku kecil dulu.”
“Apaan?”
“Apa
yang Mbak Rizka tau tentang bando biru? Terus... tentang Rachel, kakak
tingkatku.... Apa korelasinya?”
Mbak
Rizka terkejut. Aku tahu dia terkejut walau dia segera menutup ekspresi
kagetnya itu dengan senyuman. “Eh... tentang itu, ya....”
Benar,
kan.... Pasti ada sesuatu! Pasti! Apa maksudnya “tentang itu” tadi? Pasti Mbak
Rizka tahu sesuatu tentang masa laluku yang aku lupakan. Waktu itu dia sudah
SMA, kan.... Ingatannya pasti lebih bagus daripada aku dan Salma.
“Mbak
Rizka tau sesuatu, kan?”
Mbak
Rizka menggeleng kepala. “Hm... nggak, tuh.... Aku nggak tau. Kenapa kamu tanya
tentang itu ke aku?”
Dia
bohong.
“Yah...
kalo yang bando, sih.... Kalo nggak salah dulu ada bando yang kamu suka.
Padahal kamu nggak mungkin pake bando, kan.... Rambutmu pendek gitu.... Lagian
kamu cowok, kan....”
Bando
yang aku suka?
“Waktu
itu kamu cuma bilang, ‘bando di toko yang deket toko kerajinan di Pasar Tengah
itu bagus banget!’. Gitu, kan? Kamu lupa?”
Aku
pernah menyukai suatu bando? Seperti tidak masuk akal.... Kalau dikaitkan
dengan Rachel....
“Oh,
kamu juga sering ngomong sesuatu yang aneh. Aku nggak ngerti maksudnya. Tapi,
aku selalu ingat, lho....”
“Aku
bilang apa?”
“Oke,
inget baik-baik, ya.... MACAN RAJJEI +5 dan -7.”
Apaan,
tuh? MACAN RAJJEI? Lalu, apa maksudnya +5 dan -7? Apa itu? Kode?
“Kamu
dulu suka main-main detektif. Terus kamu buat kode aneh itu. Kupikir... kalo
kamu berhasil inget arti kode itu, kamu pasti bakal inget sesuatu yang luar
biasa.”
Aku
tidak mengerti.... Sama sekali tidak mengerti....
Pagi.
SELAMAT PAGI!!! Hari yang bagus, nih.... Sayangnya aku harus menikmati pagi ini
di ruang kelas. Seperti biasa aku selalu duduk di tempat yang paling dekat
dengan jendela. Alasannya cukup sederhana, supaya aku bisa mengintai pergerakan
cewek-cewek di luar kelas.
Seperti
biasa juga, Salma duduk di sebelahku. Dia sering mengajakku mengobrol berbagai
macam hal. Bagiku, kadang dia mengganggu. Aku ingin hunting cewek.... Kalau dia terus mengajakku ngobrol, kapan aku
bisa hunting? Yah... mungkin setelah
jam kuliah ini berakhir, aku bisa segera memisahkan diri darinya.
Siang.
Cerah. Kuliah selesai. Dengan penuh trik, aku berhasil memisahkan diri dari
Salman dan Salma. Nanti di rumah entah apa yang akan mereka katakan, ya....
Biarlah.
Aku
segera ke perpustakaan. Kemarin aku bertemu Rachel di perpustakaan ini. Kali
ini juga aku berharap bisa bertemu Rachel di sini. Mungkin dengan bertemu
dengannya aku bisa mengingat sesuatu tentang masa laluku.
Di
dalam perpustakaan aku mencari-cari Rachel. Tapi, yang kutemukan hanyalah
Shinta. Dia sedang membaca novel di pojok ruangan.
“Kak
Shinta, ketemu lagi, nih....”
Shinta
meletakkan novelnya di atas novel sambil tersenyum menatapku. “Halo.... Andry
mau belajar?”
Aku
duduk di sebelah Shinta. “Nggak.... Saya memang nyari Kak Shinta, kok....
Yah... mau ngobrol-ngobrol aja.... Saya pikir Kak Shinta pasti ada di sini.”
“Teehehe....
Sebenernya nggak juga, sih.... Kebetulan aja saya baca novel di sini. Sambil
nunggu Rachel, sih....”
“Oh,
kebetulan banget! Wah... kayaknya kita memang berjodoh, nih....”
“Teehehehe....
Masa, sih?”
Sebenarnya
bukan tujuan utamaku bertemu Shinta. Tapi, biarlah.... Mungkin dari dia aku
bisa mendapat informasi tentang Rachel.
“Oh,
novel tentang apa, sih? Kayaknya seru banget....”
“Ini?
Novel roman biasa, kok.... Ceritanya bagus, lho....”
“Wah...
Kak Shinta suka baca novel roman?”
“Ya,
suka banget!”
“Wah...
wah.... Kebetulan saya juga suka baca novel roman, lho....”
Aku
sedikit berbohong. Sebenarnya aku tidak benar-benar suka novel roman, sih....
Aku cuma pernah beberapa kali membaca novel roman karena ibuku mengoleksi
banyak novel begituan. Kadang kalau sedang menganggur, aku baca novel koleksi
ibuku.
“Andry
udah baca novel apa aja?”
Shoot! Dia bertanya
seperti itu?
“Banyak!
Saya pernah baca... Layla Majnun.
Oh... terus Sam Pek Eng Tay. Yang
paling tebel... oh, itu, tuh... Gone With
The Wind.”
Dari
novel yang kusebutkan tadi, sebenarnya aku hanya pernah membaca Layla Majnun. Aku tahu sisanya karena
dulu pernah membantu ibuku membereskan sebagian koleksinya.
“Wah....
Novel-novel yang keren, ya....”
“Kalo
Kak Shinta, pernah baca apa aja? Yang paling disukai, yang mana?”
Oke,
langkah pertama, ice breaking dengan
cara sinkronisasi kesukaan, sepertinya sukses besar! Terbukti! Shinta mengobrol
panjang lebar tentang novel kesukaannya. Dia senang dan sangat antusias.
Seperti yang sering kuamati, orang memang suka menceritakan kesukaannya
sendiri. Juga, biasanya orang akan senang dengan orang yang punya kesukaan yang
sama dengan dirinya sendiri. Yah... aku ikuti saja. Nanti aku bisa dengan mudah
mengorek informasi tentang Rachel darinya.
“Oh,
ya.... Kapan-kapan kita tukeran novel, yuk....”
“With pleasure.... Tapi, novel yang saya
baca itu punya ibu saya. Adanya di Palu sana....”
“Yah...
sayang....”
“Oh,
ya... Kak Rachel di mana? Biasanya selalu samaan, kan?”
“Kalo
Rachel, sih.... Dia masih kuliah.”
“Oh...
tapi, saya penasaran juga, nih.... Kak Shinta bisa betah temenan ama Kak Rachel
yang pendiam gitu, ya....”
“Yah...
soalnya cuma Rachel yang mau denger ocehan saya. Teehehe.... Soalnya saya
terlalu berisik, sih.... Yang lain pada kabur, deh....”
“Wah...
berarti Kak Shinta bisa, dong....”
“Eh?
Bisa apa?”
“Bisa
jadi calon istri saya! Soalnya saya selalu siap dengar obrolan Kak Shinta
kapanpun, dimanapun. Lagian saya suka sesuatu yang rame dan seru!”
“Teehehehehehe....
Masa, sih.... Nggak gitu, ah....”
Wajahnya
memerah. Dia jadi terlihat lebih manis. Aku ingin menanyakan apakah Rachel suka
seseorang atau tidak. Tapi, kalau kutanyakan secara langsung, dia bisa berpikir
yang aneh tentang aku. Lebih baik pakai cara yang tidak langsung saja, deh....
Kalau untuk orang seperti Kak Shinta, mungkin tidak masalah.
“Oh,
ya... kalo cewek kayak Kak Shinta... pastilah udah ada cowoknya. Iya, kan?”
Shinta
menggeleng kepala. “Eh... nggak, kok.... Cewek aneh, berisik, dan nggak menarik
kayak saya, nggak akan ada yang mau. Lagian... standar saya ketinggian,
sih....”
Waw...
mengejutkan! Ternyata jomblo! Jangan-jangan pacarnya itu... Rachel, ya? Tapi,
tidak mungkin, deh....
“Kalo
menurut saya... Kak Shinta menarik sekali, kok.... Seenggaknya dibandingin Kak Rachel....”
“Teehehehe....
Masa, sih? Nggak juga, kok.... Biar dingin gitu, Rachel banyak peminatnya,
kok.... Sayangnya Rachel yang nggak minat siapa-siapa.”
Bagus!
Secara tidak langsung dia sudah mengatakan apa yang ingin aku tahu.
“Masa,
sih? Saya pikir agak aneh, deh.... Jadi, Kak Rachel juga jomblo?”
Shinta
tertawa kecil. “Yah... gitulah.... Sayang banget, kan?”
Sebenarnya
yang lebih sayang adalah Shinta, sih.... Tapi, biarlah....
“Hm...
mungkin Rachel masih terikat ama temen masa kecilnya itu, ya....”
Teman
masa kecil?
“Waktu
itu pernah saya ceritain dikit, kan.... Itu, lho... yang ngasih dia bando biru
yang selalu dipake itu.”
Bando
biru? Entah kenapa aku ada sedikit ingatan tentang bando biru itu. Apakah teman
masa kecil Rachel itu adalah aku? Lalu, apakah aku yang memberikan bando itu?
Kakak yang ada di penggalan ingatanku, siapa?
“Bando
biru itu, ya....”
“Ya,
itu dari temannya.”
“Kak
Shinta tau sesuatu tentang temennya itu?”
“Nggak....
Rachel gak banyak cerita tentang itu. Satu hal yang saya pikir, kayaknya Rachel
sempet naksir ama temennya itu. Buktinya bando itu masih dipake sampe sekarang.
Yah... walau ada sedihnya juga, sih....”
“Sedih?”
“Oh...
itu tentang saat perpisahan. Di saat terakhir pertemuan itu, temennya
ngamuk-ngamuk dan nampar Rachel sampe dia jatuh. Sampe sekarang Rachel nggak
tau alasan temennya kalap.”
“Nampar
sampe jatuh? Berarti keras banget, dong....”
“Ya,
memang.... Kata-kata yang selalu Rachel ingat adalah, ‘Kamu gak akan pernah tau
masalahku! Gara-gara aku, Kak Emi....’. Begitu....”
Kak
Emi? Siapa itu? Kalimatnya terputus begitu saja?
“Setelah
kejadian itu, Rachel gak pernah ketemu lagi ama temennya itu.”
“Kak
Shinta tau nama temennya itu?”
“Nggak.
Rachel gak pernah bilang namanya. Kalo aku tanya dia selalu jawab, ‘temenku
udah mati dengan ngelupain aku, jadi aku juga gak wajib untuk ingat namanya.’”
Apa-apaan
dia? Sampai sebegitunya....
“Heh...
saya jadi cerita banyak tentang Rachel! Gawat, nih....”
“Nggak
apa-apa, kok.... Saya pikir ada bagusnya juga saya tau tentang Kak Rachel.
Yah... aku ingin kenal dia lebih banyak.”
“Huehehehe…. Bagus,
dong…. Saya seneng banget kalo Andry bisa temenan akrab ama Rachel. Soalnya dia
selalu sendirian, kan…. Jadi, kasihan dia….”
Hoi… hoi…. Tanpa dibilang juga aku pasti akan berteman
baik dengan Rachel.
Oke… aku jadi tahu hal-hal lain yang tidak aku
ketahui. Tentang Kak Emi, siapa dia? Apakah dia adalah kakak yang ada di
penggalan ingatanku? Benarkah? Kalau benar, berarti….
“Oh, ya…. Ada hal lain yang buat saya yakin Rachel
masih suka temen masa kecilnya itu.”
“Eh? Ada yang lain?”
“Ay… ya… ya…. Dia pernah cerita tentang cemara. Saya
gak tau detilnya, sih…. Tapi katanya di bawah cemara itu mereka pernah buat
janji. Entah janji apa, ya….”
Cemara? Janji?
“Kak, liat, tuh! Tempatnya bagus, kan….”
“Kamu suka banget tempat ini. Terus di sini mau ngapain?”
“Mau tanem sesuatu. Mungkin besok….”
“Tanam? Pohon?”
“Pokoknya sesuatu yang bakal nyimpen semua kenangan sampe hari akhir
nanti.”
“Wah…. Tapi, yakin kamu nggak akan lupa?”
“Nggak, dong…. Ada kode rahasianya. Inget, Kak… Macan Rajjei plus 5 dan
min 7.’
Eh? Apa itu? Macan Rajjei plus 5 dan min 7? Tunggu….
Itu… sesuatu yang pernah dikatakan Mbak Rizka! Macan Rajjei plus 5 dan min 7?
“Kenapa?”
“Ah… menurut Kak Shinta, plus 5 dan min 7 itu… apa,
ya?” Agak penasaran aja, nih….”
“He… kayak koordinat, ya….”
Koordinat? Ya, benar! Itu koordinat! Tapi, koordinat di mana. Lalu apa itu Macan Rajjei?
“Terus, Kak Shinta tau tentang Macan Rajjei?”
“Macan… apa? Nama jenis macan langka, ya?”
Ah… forget it.
Shinta tidak mungkin tahu tentang itu. Soalnya… dia tidak ada hubungannya
dengan ini, kan….
“Ah… ya… nggak apa-apa. Entah kenapa saya berpikir
tentang itu.”
Aku tertawa-tawa. Tertawa....
Aku menghela napas panjang.
Bagaimana, ya.... Aku harus mencari petunjuk ke mana lagi? Ini... baru kasus....